Kamis, 01 Januari 2015

Syair Untuk Negeri

Yoanita Aisyah Anugraeny

Derap tegap langkah tubuh kekar selimuti pertiwi.
Separang bambu runcing terpangkal di bahu besi.
Berperang dan berjuang tuk lumpuhkan meriam koloni.
Butiran putih bersambut amis anyir aroma darah pribumi.


Merekalah sang pejuang pribumi sejati.
Terantai baja, terpaku besi, terbirit menyelamatkan negeri.
Dengan tuntutan kewajiban kerja rodi.
Demi juangkan secuap kata merdeka tuk negeri ini.
Meski terbelenggu antara hidup dan mati.

Dan kini..
Gugur sudah para pejuang pribumi.
Meski ada, pun sudah menunggu masa tuk mati.
Tiada peduli dari pejabat negeri masa kini.
Bak perjuangan yang tiada dihargai.

Saat ini..
Tlah tiada anyir amis aroma darah pribumi.
Tiada lagi bambu runcing yang terpangkal di bahu suci.
Karena pemuda pemudi tiada hargai perjuangan pribumi.
Hanya mampu huru hara berbahagia sesuka hati.

Hari ini..
Ketika sang pribumi telah mati.
Negeri pun gonjang-ganjing seolah kembali.
Kacau, lebih dari sekadar terjajah koloni.
Sang pemuda pemudi, tak sanggup menjaga jati diri negeri.

Menit ini..
Tiada lagi pemuda pemudi yang peduli.
Meski janji suci telah terpatri abadi.
Pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 Masehi.
Dan perjuangan sepuluh November sebagai saksi.
Namun pemuda pemudi tetap tak melirik meski sesekali.

Detik ini..
Musuh negeri bukanlah lagi sekerumun koloni.
Atau tuntutan kewajiban paksa kerja rodi.
Musuh negeri tak lain adalah para tikus berdasi
Yang bermewah mewah dengan menggerogoti hak milik negeri.

Lantas, masihkah pantas para pemuda pemudi berdiam diri?

Jember, 13 November 2014
20.49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar