Yoanita Aisyah Anugraeny
Derap
tegap langkah tubuh kekar selimuti pertiwi.
Separang
bambu runcing terpangkal di bahu besi.
Berperang
dan berjuang tuk lumpuhkan meriam koloni.
Butiran
putih bersambut amis anyir aroma darah pribumi.
Merekalah
sang pejuang pribumi sejati.
Terantai
baja, terpaku besi, terbirit menyelamatkan negeri.
Dengan
tuntutan kewajiban kerja rodi.
Demi
juangkan secuap kata merdeka tuk negeri ini.
Meski
terbelenggu antara hidup dan mati.
Dan
kini..
Gugur
sudah para pejuang pribumi.
Meski
ada, pun sudah menunggu masa tuk mati.
Tiada
peduli dari pejabat negeri masa kini.
Bak
perjuangan yang tiada dihargai.
Saat
ini..
Tlah
tiada anyir amis aroma darah pribumi.
Tiada
lagi bambu runcing yang terpangkal di bahu suci.
Karena
pemuda pemudi tiada hargai perjuangan pribumi.
Hanya
mampu huru hara berbahagia sesuka hati.
Hari
ini..
Ketika
sang pribumi telah mati.
Negeri
pun gonjang-ganjing seolah kembali.
Kacau,
lebih dari sekadar terjajah koloni.
Sang
pemuda pemudi, tak sanggup menjaga jati diri negeri.
Menit
ini..
Tiada
lagi pemuda pemudi yang peduli.
Meski
janji suci telah terpatri abadi.
Pada
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 Masehi.
Dan
perjuangan sepuluh November sebagai saksi.
Namun
pemuda pemudi tetap tak melirik meski sesekali.
Detik
ini..
Musuh
negeri bukanlah lagi sekerumun koloni.
Atau
tuntutan kewajiban paksa kerja rodi.
Musuh
negeri tak lain adalah para tikus berdasi
Yang
bermewah mewah dengan menggerogoti hak milik negeri.
Lantas,
masihkah pantas para pemuda pemudi berdiam diri?
Jember, 13 November 2014
20.49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar