“Ayo kesini lagi ketika kita sudah tua”
“Bagaimana kamu pada saat itu? Apakah kamu akan seperti kakek-kakek yang perutnya buncit? Hahaha”
Percakapan singkat ketujuh pemuda berbeda usia ini begitu liar membabi buta
dalam benakku. Manis. Aku tak berhenti tersenyum bahkan dengan mendengar bahasa
yang asing untukku. Meski tidak tepat titik komanya, tapi aku benar ingat ketiga
petikan cuap mereka. Lagi-lagi kubilang, Manis. Sungguh. Jika boleh
kudeskripsikan maka akan kubilang jika ketujuh pemuda itu tengah duduk di kapal
pesiar yang menembus samudra sembari menikmati senja yang muncul diujung
cakrawala selepas hujan mendera. Semilir dingin di tempat yang panas berdendang
dengan riak angin laut yang pada saat itu tidak muncul serak ganasnya.
Seketika, ketujuh pemuda itu tenggelam dalam suasana. Mereka bergantian
membacakan surat satu sama lainnya. Tidak ada kata mesra, hanya cuap tulus yang
selama ini tersimpan dalam jiwa. Semua tentang perjuangan, ungkapan kecewa, dan
tentunya ungkapan terima kasih dengan imbuhan kata cinta. Tentunya, karena
mereka semua pemuda, bukan cinta yang kalian bayangkan, lho ya.
Lantas, bagaimana kalian akan memandang cinta?
Mungkin sebagian besar hanya akan menjawab cinta sebatas rasa empati yang dimiliki
untuk pasangan. Hanya terbatas pada rasa seorang wanita (atau pria) yang rela
mengorbankan apapun untuk membuat pasangannya (atau bukan?) bahagia. Cinta
terbatas sampai titik itu bahkan sampai membuat seseorang meninggalkan
temannya, saudaranya, keluarganya, dan yang paling parah adalah kehidupannya. Definisi
hidup kalian akan serta merta berubah menjadi ‘apapun asal dia bahagia’.
Bukankah kalian akan seperti itu jika terbatas dalam mendefinisikan cinta? Jika
tidak, maka bersyukurlah.
“Jangan sok tahu, Din. Kamu lo jomblo”
Jika ada seorang teman(?) yang
mengatakan itu padaku maka akan kujawab,
“bagaimana mungkin aku berargumen
tanpa sebuah pengalaman?” Dan ketika dia bertanya lagi “apa pengalamanmu?” maka akan kujawab lagi “kamulah pengalamanku”. Benar, kalianlah pengalamanku. Kalian yang
memberi pengalaman padaku, betapa berartinya pasangan hidup yang kalian genggam
saat ini sampai ketika kita bersama sekadar menghabiskan waktu menikmati hujan
seperti ketujuh pemuda yang sempat kusinggung tadi, yang kalian pikirkan hanya
“ah, aku belum menelponnya hari ini,
sebentar ya Din, aku akan menelponnya sekarang”. Lantas kemudian sibuk
bermabuk asmara tanpa lagi peduli dunia dan seisinya. Jika tidak seperti itu,
maka aku hanya harus menyetir motor dengan sesekali mata menatap pada
spedometer sembari berbicara dengan angin malam yang melebur bersama nafas dan
desah maklum, sedangkan kamu yang duduk tepat dibelakangku hanya akan sibuk
berbalas pesan dengan pasangan hidupmu sekadar bertanya “kamu sedang apa, sayang?”. Aku menghela napas panjang. Yang
kupikirkan waktu itu :
“hei, kalian punya
waktu seumur hidup dengan pasangan, tapi siapa yang tahu jika waktu yang akan kita habiskan bersama hanya kurang dari dua tahun?” Tidakkah kalian berpikir. teman? Jika keadaannya seperti
itu, bagaimana mungkin aku tidak berargumen jika seseorang yang jatuh cinta
definisi hidupnya berubah hanya tentang ‘aku dan dia’? Silahkan cari teman dan keluarga ditempat hati mereka yang sedang mabuk
asmara, ada dimanakah letaknya? Aku sungguh tidak tahu. Silahkan
menjawabnya. Jika mereka mampu menjawabnya tanpa banyak argumen pembenaran,
bersyukurlah.
Deskripsi awal tentang tujuh pemuda kapal pesiar dibawah senja tadi adalah
gambaran ideal bagaimana seharusnya memandang kata cinta. Ketika cinta tak
terbatas hanya untuk ‘aku dan dia’. Ketujuh pemuda tadi jika boleh kukenalkan
adalah boyband yang saat ini sedang
gencar-gencarnya menjadi buah bibir media, ya BTS. Sejak awal, aku memang
selalu terbuai dengan romansa, terutama gambaran romansa pemuda (bromance). Jika selama ini yang
kunikmati sebatas bromance drama
korea seperti Wise Prison Life, Live,
Love in the Moonlight, dan Life on
Mars, maka kali ini aku benar-benar menikmati bromance nyata dari ketujuh member BTS yang beranggotakan tujuh
pemuda antara lain RM, Jhope, Suga, Jin, V, Jimin, dan Jungkook. Petikan
deskripsi adegan yang kutulis di paragraf awal juga sebenarnya merupakan
deskripsi adegan salah satu acara jalan-jalan BTS, Bon Voyage Season 2 episode 8. Pada petikan adegan itu, aku
kemudian mengerti bahwa cinta tak terbatas hanya tentang ‘aku dan dia’.
Hubungan mereka yang harmoni, penuh ketulusan, saling menjaga, dan saling
mengingatkan ketika kecewa yang begitu alami sontak membuatku menangis.
Benar-benar tulus. Aku iri. Iri ketika mereka dengan lepas membual tentang
angan masa depan tanpa kekhawatiran “apakah
yang pasanganku lakukan sekarang?” Baiklah, akan kutulis lagi ketika ucap
kalimat yang kurasa sarat dengan ketulusan tanpa kekhawatiran itu.
“Ayo kesini lagi ketika kita sudah tua”
“Bagaimana kamu pada saat itu? Apakah kamu akan seperti kakek-kakek yang perutnya buncit? Hahaha”
“Ah tidak, aku akan terus membentuk badanku bahkan ketika aku sudah tua”
Apakah aku berlebihan? Tidak. Lihatlah yang mereka katakan ketika mereka
berhadapan dengan alam bersama-sama, “Ayo
kesini lagi ketika kita sudah tua”. Sungguh membuatku iri. Lantas jika aku
kebetulan menemukan tempat bagus untuk dikunjungi, aku selalu berpikiran
demikian Tapi bagaimana dengan teman disampingku? Mereka dengan lantang akan
berteriak “Ah, aku pasti akan kemari lagi
dengan pasanganku”, atau “aku tidak
mau pergi tanpa dia, karena tidak ada yang akan menjagaku”. Kemudian aku
diam dengan batin bergejolak “Sungguh,
apakah kau pikir aku tidak akan menjagamu, teman (?)”. Kemudian aku hanya
menghela napas dan memilih menikmati alam sendirian sembari berangan tentang
masa depan. Jika kalian tidak seperti itu atau teman kalian tidak begitu, maka
bersyukurlah. Bukankah mereka (BTS) begitu tulus dan saling menjaga satu sama
lainnya? Aku sungguh terharu, kagum, dan tentu saja iri dengan definisi cinta
yang mereka ungkapkan. Begitu luas.
Ingatlah, tulisan ini bukanlah sesuatu yang pantas untuk dijadikan
kontroversi hingga mendatangkan penelis sana sini. Tulisan ini seyogyanya
hanyalah sebuah bahan untuk melihat keadaan sekitar, kemudian berpikir tentang
definisi cinta. Sejauh apa kau mendefinisikan cinta? Karena cinta begitu luas,
kenapa tidak kau ungkapkan rasa cinta pada temanmu sebagai ungkapan rasa syukur
tanpa sungkan, seperti BTS yang mengungkapkan rasa cinta satu sama lainnya?
Ingat, jangan membatasi definisi cinta (hanya aku dan dia) jika tidak ingin
kuanggap buruk (memangnya apa pentingnya pandanganku?), hahahaha.
“Bagaimana kamu pada saat itu? Apakah kamu akan seperti kakek-kakek yang perutnya buncit? Hahaha”
“Ah tidak, aku akan terus membentuk badanku bahkan ketika aku sudah tua”
Terakhir, teruslah berbual tentang angan masa depan dengan temanmu.
Nikmatilah waktumu sekarang. Bukankah kamu akan hidup seumur hidup dengan
pasanganmu? Selama ikatan janur belum kau deklarasikan, tidakkah kamu ingin
menghabiskan setidaknya setahun dengan temanmu, dan hanya dengan temanmu?
Sejujurnya, itulah yang kuinginkan. Setidaknya, meski ada sifat yang belum kau
terima, tolong pergunakanlah aku sebagai temanmu, alih-alih pasanganmu. Mari mengukir kenangan. Daripada membahas tentang pasangan ketika sedang menikmati alam, meskipun tidak penting bagaimana jika kita hanya akan mengobrol tentang nyamuk dan lalat sampai pagi? Aku penasaran bagaimana menyenangkannya :).
Sebab cinta tak
terbatas hanya tentang ‘aku dan dia’.
Terima kasih juga
untukmu, BTS.
Salam cinta,
Dinda Yoanita
(Jika
penasaran tentang petikan adegan yang kusebutkan, silahkan pergunakan internet
sebagai alat pemuas rasa penasaran)
Ayoo ke ijen lagi wkwkwk
BalasHapusLove you mbk din ❤
Army detected. 😁
BalasHapus