Aku kembali mengawali tulisanku dengan langit sebagai kata kunci. Bagiku, langit memberi energi dengan warnanya yang penuh gradasi dan gemintangnya yang sorak sorai penuh simfoni. Kali ini, langit masih hitam sebab langit yang menghitam adalah wadah milyaran kata menunggu masa tuk diretas. Pitam andromeda nampaknya semerbak hilir dengan aroma jangkrik di sekeliling pematang. Krik. Krik. Begitulah. Tak ada suara hantaman, hanya beberapa napas panjang yang mendesah berkejaran dengan masa.
Detik tanpa ampun.
Berkejaran tanpa sadar menembus nafas.
Aku
masih sibuk menyibak galeri lama yang tak usang. Empat bulan lalu, di tahun dua
ribu delapan belas. Panjang
mahkota menjadi saksi berawalnya berubahan. Mulai dari lima belas senti dibawah
telinga, hingga kini mencapai tiga puluh senti dibawah telinga. Perubahan yang
kontinu. Konon, perubahan inilah yang benar-benar terlihat namun tidak
diperhatikan.
Demikianlah diriku sekarang.
Berharap
mendulang langkah melejit diatas andromeda, kini hanya berpuas berjalan cepat
diatas zat hara. Bagaimana bisa? Jelas
bisa, karena perubahan yang mencolok namun tak diperhatikan bukan? Beginilah kenyataan.
Jutaan pasang mata sibuk
menyoroti yang menarik berpenampilan. Sehingga yang tak punya modal penampilan
hanya mampu bertekuk lutut dipangkuan tangan. Apakah ini usaha
menyalahkan? Bukan! Tidak demikian. Hanya saja, bagaimana jika tidak menimbang
penampilan? Bagaimana jika membimbing
yang terbimbing dari awal? Bagaimana
jika menggandengku yang sudah mengikuti sejak yang lain meremehkan? Terakhir,
bagaimana jika aku diberikan kesempatan?
Tiada
ungkapan yang dicanangkan sebab pada akhirnya kalah argumen dengan bacotan. Aku
yang tak punya modal penampilan sudah jatuh mental karena sebelumnya panen
hujatan. Pada akhirnya, harus menyerah dengan bacotan sebab kalah mental. Malam
semakin subur. Angin malamnya mengantarkan kota panas ini di titik sembilan belas derajat celsius, tepat
di titik terendahnya. Seperti aku pada hari ini, detik ini.
Setelah
kuselesaikan tulisan ini, angin sembilan belas derajat mulai membuka luka.
Tentang aku, yang kembali membuka album empat bulan lalu. Sepersekian detik,
kusadari waktu berpacu dengan detak yang berdetik. Kusadari, empat bulan
terakhir aku menjadi sosok yang menjengkelkan. Semuanya setuju, ilalang
bergoyang seolah turut berargumen ya. Aku pun setuju.
Ketika
semua mengangguk setuju, makhluk lain dipenghujung bangunan menggeleng tak
setuju. Mereka mengeong, seolah menolak argumen yang mengatakan aku
menjengkelkan. Aku menarik senyum. Terima kasih.
Empat bulan yang berarti.
Sangat.
Aku
mengenal virus mematikan yang merenggut makhluk berbulu, satu-satunya makhluk
yang berargumen aku tak sepenuhnya
menjengkelkan.
Dinding rapat merenggang, keramahan rapuh beku tanpa cela. Aku menjengkelkan.
Benar.
Tak hanya satu dua. Dan aku menyadarinya.
Hanya saja, aku tak bisa mengatasinya.
Sampai
detik ini, titik masih belum bebalik arah. Empat bulan lalu. Ketika aku bangun
pagi-pagi membersihkan bak pasir dan memberi makan ketiga makhluk bulu. Ketika
rutinitas mewajibkanku menata empat tempat ternyaman untuk istirahat malam dan
ketika aku masih belum menjengkelkan. Itulah diriku, empat bulan lalu,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar