“Silahkan cari teman dan keluarga ditempat hati mereka yang sedang mabuk asmara, ada dimanakah letaknya?”
Petikan kalimat itu merupakan petikan kalimat pamungkas yang kutulis pada tulisanku sebelumnya. Cukup
kuat hingga kuputuskan menjadi prolog untuk membuka tulisanku kali ini.
Pertanyaan yang kemudian kembali menimbulkan pertanyaan :
“Apa sesuatu yang penting untukmu?”
Silahkan menjawab, jika pertanyaan itu kau jawab hanya dengan waktu satu
detik atau sekerlingan mata saja, maka kuucapkan selamat! Lantas, jawaban itu kemudian
menimbulkan pertanyaan lagi.
“Apakah itu benar-benar penting untukmu, atau kau hanya menjawab karena kebetulan kau memikirkannya?”
Seyogyanya, begitulah cara kerja hidup. Menjawab pertanyaan bukanlah sebuah
akhir, melainkan sebuah cakupan luas untuk kembali mengajukan pertanyaan lain,
begitu seterusnya. Jika tidak terpaksa diakhiri karena salah satu merasa cukup,
maka pertanyaan akan terus terbentuk. Seringkali pertanyaan yang dilontarkan merupakan
sebuah jebakan dengan doktrin pernyataan yang mungkin akan menjatuhkan. Jika
tidak jeli, maka tamatlah sudah. Maka, silahkan merenunginya sebelum akhirnya
kuberi kesempatan untuk menjawab sepenuh hati, apakah yang menurutmu penting, benar-benar penting untukmu? Jika
sudah kau kunci jawabannya, baiklah. Selanjutnya aku tidak akan bertanya lagi.
Setelah ini, silahkan nikmati tulisanku.
Dua puluh bulan yang lalu tepatnya, ketika aku memutuskan untuk melepas
semua luka dan merangkulnya diam-diam. Dua puluh bulan yang lalu tepatnya, saat
aku sudah bisa tersenyum dan tertawa bahkan ketika aku mengingat luka. Dua
puluh bulan yang lalu, ketika kupangkas habis rambutku sebagai simbolik langkah
kehidupan baru. Untuk diriku dua puluh bulan lalu, terima kasih sudah terluka.
Karena kali ini, aku benar-benar baik-baik saja.
Seperti pertanyaan yang selalu melahirkan pertanyaan lain, maka sembuh dari
luka hati benar-benar bukanlah sebuah akhir apalagi hanya sebatas patah hati.
Setelahnya, ada bagian hati kosong, hilang, dan hampa. Tidak banyak yang mampu
kudeskripsikan sebab jujur saja, kehampaan membuat separuh jiwaku hilang. Jatuh
cinta adalah anjuran, tapi kuhadapi dengan enggan. Jika kau baca tulisanku
sebelumnya tentang dialogku dengan diriku empat bulan lalu, maka kau akan
mengerti bagaimana kemudian aku hanya menjadi menyebalkan, dan semakin
menyebalkan. Aku kehilangan diriku. Aku kehilangan tempatku. Satu-satunya yang
bisa kupertahankan hanyalah gelar sarjana yang akhirnya kudapatkan ditengah
kekosongan itu.
Aku tersesat, aku hilang arah
Jauh lebih menakutkan daripada sekadar patah hati terdalam yang pernah
kurasakan. Jika patah hati membiarkan umpatan mesra dibalut musikalisasi syair
yang indah menyayat hati, maka kekosongan hidup ini hanya membuatku tersesat
dan terperangkap dalam ruang hitam. Gelap dan tak ada harapan. Yang paling
menyakitkan adalah tak ada tulisan. Aku hanya terus menjauh dari kehidupan
sosial karena aku malas bertatapan dan tersenyum dengan orang-orang. Aku malas
sekadar bersama dengan tamu rumahan. Dan, aku
malas mendengar curhatan. Selanjutnya, bagaimana aku mampu bertahan?
Kemudian, aku menghilang diam-diam karena tahu tidak akan ada yang sadar.
Tidak ada koneksi dengan media sosial. Menghilang sepekan dengan merenungi
benar-benar “Apa yang kuinginkan? Apa lagi yang akan kuperjuangkan? Apa lagi yang
akan kutuliskan?”. Pada masa itu, aku benar-benar kosong hingga tak
mampu menjawab satupun pertanyaan. Meski demikian, aku masih punya separuh jiwa
yang tersisa untuk kuajak berdamai dan bertahan. Maka, bersyukurlah kau jika
masih mampu menjawab pertanyaan yang kulontarkan di awal tadi. Sebab itu aku
mengucapkan selamat.
Pada saat yang sama, aku membenci sekalimat ucapan “jatuh cintalah agar kau punya seseorang untuk diperjuangkan”.
Kalimat yang begitu naif dan menyimpan kemunafikan. Kalimat yang menutupi
kebodohan tak punya tujuan dengan berusaha mencari pasangan. Kemudian batin
ketus berkesimpulan “jika tidak jatuh
cinta dengan seseorang, maka kau sama sepertiku tidak punya tujuan, apakah aku benar?” Bukan. Aku tidak
menyuruhmu untuk berhenti mencintai atau memperjuangkan seseorang. Tapi
bolehkah kubilang, bagaimana jika temukan
dulu dirimu sebelum memperjuangkan yang lain? Kau boleh tak setuju, tak ada
hak untukku melarang, begitupun aku yang juga punya hak menyimpulkan jika tak
ada penjelasan. Sampai kapan hidupmu
untuk memperjuangkan orang lain? Lantas, kapan kau ada waktu berjuang untuk dirimu
sendiri? Sejujurnya, itulah gejolak batinku ketika berdebat dengan separuh
jiwa yang masih tersisa di tubuhku.
Karena aku memberi waktu yang cukup untuk berdialog dan berdebat dengan
jiwaku, pada akhirnya aku menemukan sekelebat sinar yang membuatku sedikit
membuka diri dengan kenyataan sosial. Berusaha tenggelam dalam obrolan basa basi yang membuatku pening dengan pembahasan yang ironi.
Berusaha tertatih bangkit dan berdamai dengan diri. Berusaha menata jawaban
tiga pertanyaan pamungkas “Apa yang kuinginkan? Apa lagi yang akan
kuperjuangkan? Apa lagi yang akan kutuliskan?”. Sebelum pada akhirnya
aku menemukan sebuah sinar yang perlahan membantuku menyusun pola jawaban. Epiphany.
Hampir lewat satu hari sejak aku mempertimbangkan sebelum akhirnya aku
memutuskan untuk menulis tentang Epiphany.
Sebuah kata yang asing namun baru-baru ini merajai pencarian karena menjadi
judul lagu solo Jin, salah satu member BTS, boyband
asal Korea Selatan yang kusinggung pada tulisanku sebelumnya. Meski aku tidak
tahu banyak tentang mereka, tapi setidaknya terima kasih telah menciptakan lagu
epiphany. Lantas, epiphany itu apa? Singkatnya epiphany sebuah momen dimana orang
tiba-tiba menyadari atau menjadi sadar akan sesuatu yang sangat berharga
untuknya (https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/epiphany).
Ketika aku tengah menyusun pola sinar secara perlahan, aku menemukan lagu epiphany. Aku menemukan jawabannya. Aku
menemukan jawaban tentang apa yang kuinginkan dan apa yang harus kuperjuangkan
sekarang. Sinar semakin merekah ketika tahu aku menemukan epiphany ketika keadaanku sedang epiphany. Aku menemukan jawabannya!!!!! Bahkan pertanyaan tambahan
tentang “apakah sesuatu yang penting
untukmu?”. Kali ini aku mampu menjawabnya dengan lantang. Jika sebelumnya
aku masih ragu, maka nada dan melodi epiphany
menguatkanku. Jika sebelumnya aku tidak begitu yakin, maka lirik epiphany yang meyakinkanku bahwa saat
ini aku sedang dalam keadaan epiphany.
Dan kutemukan jawaban sederhana, DIRIKU. Segala sesuatu yang akan kuperjuangkan
dan kuinginkan sudah kuputuskan itu untuk diriku. Tidak perlu kujelaskan dengan
detail, bukan?
Jika aku sudah, sekarang giliranmu. Silahkan temukan dan yakini jawabannya
dan saat itulah kau akan merasakan keadaan epiphany.
Jika masih ragu jawabannya, silahkan berdamai dan berdialog dengan jiwamu.
Sesungguhnya, jiwamu adalah teman sejatimu. Dia akan menjadi pemecah masalah
terbaik bagimu dibanding orang sekitarmu, cobalah. Kemudian, bersyukurlah.
Terakhir, terima kasih lagu indahnya, Bangtan :).
Salam Cinta, Dinda Yoanita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar