Jumat, 21 September 2018

Aku, Empat Bulan Lalu




Aku kembali mengawali tulisanku dengan langit sebagai kata kunci. Bagiku, langit memberi energi dengan warnanya yang penuh gradasi dan gemintangnya yang sorak sorai penuh simfoni. Kali ini, langit masih hitam sebab langit yang menghitam adalah wadah milyaran kata menunggu masa tuk diretas. Pitam andromeda nampaknya semerbak hilir dengan aroma jangkrik di sekeliling pematang. Krik. Krik. Begitulah. Tak ada suara hantaman, hanya beberapa napas panjang yang mendesah berkejaran dengan masa


Detik tanpa ampun. 

Berkejaran tanpa sadar menembus nafas. 

Aku masih sibuk menyibak galeri lama yang tak usang. Empat bulan lalu, di tahun dua ribu delapan belas. Panjang mahkota menjadi saksi berawalnya berubahan. Mulai dari lima belas senti dibawah telinga, hingga kini mencapai tiga puluh senti dibawah telinga. Perubahan yang kontinu. Konon, perubahan inilah yang benar-benar terlihat namun tidak diperhatikan. 

Demikianlah diriku sekarang. 

Berharap mendulang langkah melejit diatas andromeda, kini hanya berpuas berjalan cepat diatas zat hara. Bagaimana bisa?  Jelas bisa, karena perubahan yang mencolok namun tak diperhatikan bukan?  Beginilah kenyataan. 
Jutaan pasang mata sibuk menyoroti yang menarik berpenampilan. Sehingga yang tak punya modal penampilan hanya mampu bertekuk lutut dipangkuan tangan. Apakah ini usaha menyalahkan?  Bukan!  Tidak demikian. Hanya saja, bagaimana jika tidak menimbang penampilan?  Bagaimana jika membimbing yang terbimbing dari awal?  Bagaimana jika menggandengku yang sudah mengikuti sejak yang lain meremehkan? Terakhir, bagaimana jika aku diberikan kesempatan?
Tiada ungkapan yang dicanangkan sebab pada akhirnya kalah argumen dengan bacotan.  Aku yang tak punya modal penampilan sudah jatuh mental karena sebelumnya panen hujatan. Pada akhirnya, harus menyerah dengan bacotan sebab kalah mental. Malam semakin subur. Angin malamnya mengantarkan kota panas ini di titik sembilan belas derajat celsius, tepat di titik terendahnya. Seperti aku pada hari ini, detik ini.
Setelah kuselesaikan tulisan ini, angin sembilan belas derajat mulai membuka luka. Tentang aku, yang kembali membuka album empat bulan lalu. Sepersekian detik, kusadari waktu berpacu dengan detak yang berdetik. Kusadari, empat bulan terakhir aku menjadi sosok yang menjengkelkan. Semuanya setuju, ilalang bergoyang seolah turut berargumen ya. Aku pun setuju.
Ketika semua mengangguk setuju, makhluk lain dipenghujung bangunan menggeleng tak setuju. Mereka mengeong, seolah menolak argumen yang mengatakan aku menjengkelkan. Aku menarik senyum. Terima kasih. 

Empat bulan yang berarti

Sangat.
 
Aku mengenal virus mematikan yang merenggut makhluk berbulu, satu-satunya makhluk yang berargumen aku tak sepenuhnya menjengkelkan. Dinding rapat merenggang, keramahan rapuh beku tanpa cela. Aku menjengkelkan. Benar. 


Tak hanya satu dua. Dan aku menyadarinya.
 Hanya saja, aku tak bisa mengatasinya. 

Sampai detik ini, titik masih belum bebalik arah. Empat bulan lalu. Ketika aku bangun pagi-pagi membersihkan bak pasir dan memberi makan ketiga makhluk bulu. Ketika rutinitas mewajibkanku menata empat tempat ternyaman untuk istirahat malam dan ketika aku masih belum menjengkelkan. Itulah diriku, empat bulan lalu,


Ditulis pada 27 Agustus 2018 di kamar bercat hijau yang diselimuti kelambu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar