Seperti warna langit yang tetap kelam
ketika malam, gemintang mulai bersinar tak ber aba. Tanpa sadar,
detik menyeret detak sampai di seperdelapan malam ketika detik sedang berlomba
dengan jarum pendek di antara angka satu dan dua.Tak ada tanda pita suara
bergaung diudara dengan sengaja. Hanya saja, seolah diseret detik, malam ini
hanya menyisakan suara detak dan jangkrik.
Sesekali atau mungkin setiap beberapa detik, paru-paru menunjukkan tanda
respirasinya. Ya, suara desah nafas yang menghela turut memeriahkan sinfoni
malam ini.
Kupatut atap dengan segan. Batin melayang seolah ruh sedang bercumbu dengan kenangan. Tidak, bukan seolah. Kini, aku mengakui aku sedang bercumbu dengan kenangan. Batinku terus meraba, desah nafas yang berpacu dengan detik menjadi bahan bakar untukku memberingaskan cumbuku. Sesekali kubuka lensa, kuusap peringai di sudut mata. Jika bertanya apa yang sedang kulakukan, berkali aku katakan, aku sedang bercumbu dengan kenangan. Bercumbu dengan momen ketika diriku mengakui keberadaan, bercumbu ketika usia masih belum sampai di titik dua kepala. Dan saat itu, detik ini kusadari. Kenangan sungguh berharga hingga jika kini ku ingat, begitu menyesakkan sanubari.
P E N Y E S A L A N
Tentu, bagian itu merupakan potensi
terhebat sebab musabab sesaknya sanubariku kini. Penyesalan
seolah menjadi tersangka yang jika kuhakimi kan ku ganjar dengan hukuman mati.
Tapi apa yang
menjamin berubah jika penyesalan ku
ganjar mati? Bukankah tandanya aku akan
benar- benar tidak mengenali penyesalan bahkan sepeninggalnya?
Aku memberontak batinku sendiri. Tapi
kemudian, perlahan aku melerai pemberontakan yang ku ciptakan sendiri.
Kusadari, jika saja hidupku tanpa penyesalan, bagaimana mungkin aku mengerti
artinya belajar? Ya. Aku mungkin menyesal mengapa dulu aku memilih pilihan ini
dibanding itu. Ya, mungkin dulu aku menyesal, mengapa aku memilih mengikuti ini
bukannya itu. Ini itu yang begitu menyesakkan. Tidakkah setiap orang setidaknya
pernah menyesal sekurang-kurangnya sekali dalam hidup? Tak peduli seberapa jauh
aku memikirkannya, selalu ada fantasi yang menyeretku pada kenyataan bahwa -aku menyesal-. Ya, penyesalan hanyalah
sebuah fantasi. Biarkan fantasi hanya sekadar lewat dalam batinmu. Jika saja
kau tidak menyesal, apakah kau akan mengerti arti sebuah kata 'syukur'?
Baiklah, aku mengerti. Jika kenangan
adalah fantasi yang menyesakkan karena beberapa hal yang membuatmu meratapinya,
maka syukur adalah jawabannya. Maka syukur adalah obatnya. Karena pada
dasarnya, sebaik-baiknya obat bagi komplikasi penyesalan adalah rasa syukur.
Bersyukurlah, Din.
Kuakhiri dialogku dengan diri. Maka,
demikianlah jawaban atas keresahan batinku. Bercumbu dengan kenangan beratap
larut malam yang berdimensi altar menanggalkan kenyataan bahwa :aku: sedang memberikan penyelesaian
untuk diriku. Bukan kamu, dia, atau
mereka. Karena kutau, jawaban akhirnya hanya satu dua patah kata “yang sabar ya". Jika tak percaya, cobalah alami saja.
Dialogku dengan diriku ini menjadi tulisan
panjang pertama yang kutulis, setelah memutuskan (atau terpaksa) berhenti
bertahun-tahun. Kali ini kusadari, inilah satu-satunya zona nyamanku, tempatku
kembali sejak beberapa kali diberitakan tengah depresi.
Selamat datang kembali, Din.
Semoga selalu berbahagia.
Besuki,
21 September 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar