Sabtu, 16 Februari 2019

Bahagia : Sebuah Variabel Semesta



Apa definisi bahagia?
Apa yang membuat kita bahagia?
Sudahkah kita berbahagia?
Benarkah tertawa adalah penanda bahagia?

Jika menjawab pertanyaan itu tak butuh waktu lama, maka selamat kau telah berbahagia. Tapi jika sampai kau baca kalimat ini kau masih belum menentukan jawabannya, maka jangan sedih. Kau tidak sendiri.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan bahagia sebagai keadaan atau perasaan senang dan tentram (bebas dari segala yang menyusahkan). Paralel dengan itu, bahagia juga menurunkan beberapa kata seperti berbahagia, kebahagiaan, membahagiakan, dan sebahagia. Jika didefinisikan lagi, berbahagia berarti suatu keadaan bahagia atau menikmati kebahagiaan. Sedangkan kebahagiaan berarti kesenangan dan ketentraman hidup (lahir batin) atau keberuntungan yang bersifat lahir batin. Pada variabel tertentu, bahagia juga dapat berubah jamak menjadi membahagiakan yang objeknya adalah orang lain (bisa jadi merupakan orang terdekat). Lantas, jika dalam hakikat definisi bahagia sesederhana itu mengapa banyak orang yang merasa tidak bahagia?

Jawabannya juga cukup sederhana, karena dalam praktiknya bahagia tidak sesederhana itu.

Tidak banyak orang yang benar-benar mengerti cara berbahagia. Hidup di semesta yang punya milyaran kepala, tidak selamanya kebahagiaan kepala satu dengan yang lainnya punya objek yang sama karena pada dasarnya setiap manusia itu berbeda. Sejajar dengan perbedaan kepribadian, maka berbeda pula variabel kebahahagiaannya. Mereka bisa bahagia hanya dengan sibuk bekerja, sedangkan beberapa justru terus tertekan jika bekerja dan ingin segera mengakhirinya. Begitulah variabel bahagia terus berulang namun jangan sesekali disamakan atau terpaksa dihubungkan dengan loyalitas keagamaan. Jangan sesekali membandingkan diri dan berhipotesa dengan mengikuti manusia lainnya yang jelas variabel bahagianya berbeda. Sesungguhnya, kau punya jawaban sendiri, jauh disana, disudut kecil jiwa. Jika saja kau mau mencoba menyelaminya, kau pasti mendapatkannya. Bahkan jika kau belum menemukannya, membandingkan diri dengan manusia lainnya hanya akan membuat konsistensi variebel bahagia yang sudah tertanam disudut jiwamu goyah, atau justru akan tersesat dan tak menemukan jalan keluar. Kabar terburuknya, kau hanya akan terkunci di kotak pandora dengan berbagai kecemasan yang tak pernah berujung dan terjebak oleh puluhan variabel yang coba ingin kau ikuti. Pada titik itu, kau hanya akan merasa hampa, tak berguna, dan serasa hidup namun tak bernyawa, kemudian jatuh sejatuh-jatuhnya. Kotak pandora itu kejam dan cukup membuatmu menderita. Puluhan variabel yang coba ingin kau ikuti akan terus menghantui dan memasang tatap remeh yang membuatmu hanya memekik tangis di sudut semesta. Sementara kehidupan masih berlanjut, kau masih tak bergeming. Jika tak ingin terjebak di kotak pandora, maka berjuanglah menemukan variabel bahagiamu sendiri! Jangan sesekali memancing derita dengan berkaca pada kehidupan orang lain yang pada dasarnya anomali, setidaknya untuk hidupmu.

Di usia 20-an, pertanyaan tentang kebahagiaan kerap kali merujuk pada keadaan tertentu dan bukan lagi tentang objek. Naluri dewasa mulai memengaruhi pola pikir yang membuat kita terus berpikir lebih dalam tentang kata ‘bahagia’. Bahagia bukan lagi tentang bagaimana kita bisa tertawa dengan keras. Bahagia bukan lagi hanya tentang liburan. Dan yang paling eksrem adalah, bahagia bukan lagi tentang uang. Pada titik ekstrem itu, jelas kau benar-benar hampa. Bersyukurlah jika uang masih sedikit memberi kebahagiaan, atau setidaknya kelegaan. Sebab akan sangat menderita seseorang yang bahkan uang tidak bisa memberikannya kebahagiaan. Nilai tukar rupiah, seberapapun kuatnya terhadap nilai dollar tetap tak bisa membeli kebahagiaan yang kau idamkan. Lantas bagaimana kau akan mengatasinya?

Maka izinkan aku memberimu sepenggal pertanyaan, apa yang kau inginkan?

Variabel tak akan muncul tanpa tujuan dan pertanyaan. Ya, tujuan dan pertanyaan akan menentukan dan membentuk variabel. Sebagaimana tujuan akan menjawab pertanyaan, begitulah hukum yang tak bisa dibantah, bahkan dengan nilai agamis sekalipun. Silahkan jawab pertanyaanku, apa yang kau inginkan?

Sampai di titik ini, jika jawabanmu bukan ‘aku tidak ingin hidup’ maka selamat, harapanmu masih melayang jauh melintasi cakrawala sedang kau tak menyadarinya karena terlalu sibuk menunduk meratapi. Kau mungkin terlalu sibuk meratapi subyek kegagalan dan penyesalan hingga membuatmu melupakan satu hal, bahagia. Bukankah kau yang kini ingin menyerah hanya fokus pada pertanyaan ‘kenapa aku gagal?’, ‘kenapa aku tidak beruntung?’ bukannya mencoba menjawab ‘apa yang kuinginkan?’. Jika iya, maka variabelmu bukanlah bahagia, tapi kegagalan. Jika tidak ingin merasa demikian, perlahan ubah variabelmu, tak usah terlalu terburu-buru. Mengubah variabel tidak akan mengubah hukum alam. Berfikirlah untuk bahagia, alih-alih meratapi kegagalan. Jika kau tak punya seseorang yang menguatkan, maka setidaknya jadilah kuat untuk dirimu sendiri.

Pada konsepnya, hidup tidak mululu kejam seperti yang dicetuskan penghuninya. Hanya saja, di semesta yang penuh dengan bias terkadang kami tak cukup pandai menentukan variabel. Hidup bukanlah konstanta yang stagnan di satu titik temu. Fleksibilitas sangat dibutuhkan, meski tidak mutlak. Namun, jika terpaksa stagnan maka bersyukurlah selama tidak mundur. Stagnasi adalah sebuah jeda untuk menentukan variabel baru. Bahkan jika variabel itu terkembang dalam banyak hal, bahagia tetaplah menjadi tujuan yang menjawab pertanyaan. Bagitulah seharusnya. Maka, selamat menentukan variabel. Pastikan selalu berbahagia di alam semesta.

Salam, Dinda Yoanita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar